Fobia Istriku
Kamis, 20 Juli 2023 12:10 WIBMungkin bagi orang lain yang tidak punya fobia, sikap istriku ini cenderung berlebihan, lebay, atau apalah namanya. Namun, bagi istriku, hal kecil bagi orang lain itu di matanya sangat besar. Kalau itu berurusan dengan fobianya. Yah, fobia kodok.
"Aaaa!!!"
Begitu aku angkat telepon, dari ujung sana istriku langsung berteriak.
"Ada apa, Mah? Kenapa?" tanyaku seketika. Tentu aku panik luar biasa.
"Ada kodok, Pah. Kodok! Gede banget. Cepetan pulang, Pah! Ini aku lagi di atas meja. Aaaa!!!"
Belum sempat aku ngomong lagi udah dimatiin telponnya. Dasar.
Aku mengusap wajah dengan kasar. Jadi bingung sendiri sekarang. Kerjaan dari bos numpuk banget hari ini, ini malah suruh pulang.
Istriku itu memang fobia banget dengan kodok. Entah kenapa. Baginya kodok itu lebih menakutkan daripada sosok genderuwo dan wewe gombel sekalipun.
Dari suara di telepon yang terdengar histeris tadi aku yakin ia benar-benar ketakutan.
Aku benar-benar bingung. Kalau segera tidak ditolong bisa-bisa pingsan dia. Dan perang dunia bisa terjadi lagi.
Aha! Akhirnya ada gambar lampu menyala di kepalaku.
Segera aku cari sebuah nama di kontak, aku hendak menghubungi seseorang.
"Mar, kamu ada di mana?" tanyaku begitu telpon di angkat oleh orang di seberang sana.
"Di rumah, Bang. Kenapa?"
"Tolong Mbakyu kamu, ada kodok masuk rumah itu. Pasti takut banget sekarang. Tahu sendiri mbakyu kamu takut banget sama kodok," tukasku kepada Komar. Komar adalah ponakanku. Umurnya masih 18 tahun. Baru lulus sekolah.
"Engg, tapi ini aku lagi sibuk mabar, Bang," jawab Komar berasalan.
"Sudah, nanti pulang tak beliin rokok satu bungkus!" jawabku spontan, tahu bahwa ini akan membuatnya tak akan menolak apa yang aku perintahkan.
"Beres, Bang," katanya singkat sambil mematikan saluran telepon.
Aku mendesah pelan. Lega juga. Akhirnya aku bisa lanjut kerja lagi dengan tenang.
***
Aku memarkirkan mobil dengan santai di depan rumah. Lalu beranjak turun dan masuk rumah.
Aku mengucapkan salam tapi tidak ada yang menyahut. Kemana Mila istriku? Batinku.
Aku masuk saja ke rumah yang ternyata tidak terkunci. Begitu hendak sampai di kamar, aku mendengar samar-samar orang terisak.
Aku sudah menduga, bahwa ia masih saja menangis.
Benar saja. Begitu aku buka pintu kamar, Mila, istriku, langsung menghambur kepelukanku dan menangis sejadi-jadinya.
"Papah jahat. Kenapa suruh aku pulang tidak pulang! Aku takut banget tadi kodoknya gede banget, Pah …." Sambil terisak-isak istriku memarahiku.
"Kan sudah aku suruh si Komar tadi, papah tu sibuk banget, Mah, di kerjaan. Lagi kejar target perusahaan, mana bisa papah mendadak pulang gitu, bisa-bisa papah dipecat. Lagian cuman masalah kodok doang."
Aku segera menutup mulut. Sadar bahwa aku keceplosan.
"Apa!" istriku melepaskan pelukannya dan menatapku lekat. "Cuman? Cuman kata Papah! Ok, Sekarang papah keluar dan malam ini tidur di luar!"
Kemudian Mila bergegas ke arah lemari. Mengambil beberapa baju, selimut, dan handuk.
"Ini. Cepat keluar!" bentaknya lagi sembari melemparkan perkakasku yang tadi diambilnya secara serampangan.
Aku menghela napas, kemudian keluar kamar. Tidur di luar lagi deh malam, ini, gerutuku.
Aku masih jauh dari pintu kamar ketika pintu itu dibanting dengan keras.
Aku mengusap wajah sebentar, lalu ngeloyor ke kamar mandi.
.
Mungkin bagi orang lain yang tidak punya fobia, sikap istriku ini cenderung berlebihan, lebay, atau apalah namanya. Namun, bagi istriku, hal kecil bagi orang lain itu di matanya sangat besar. Kalau itu berurusan dengan fobianya. Yah, fobia kodok.
Karena aku suaminya, jadi cukup tahu seberapa fobianya ia terhadap kodok.
Entah istilahnya apa dalam psikologi. Yang pasti, istriku memang sangat fobia sekali dengan hewan satu itu. Padahal menurutku kodok itu tidak begitu menakutkan, kalau sedikit bikin geli baru iya.
Ini adalah kejadian yang mungkin sudah ada lima kali semenjak kami menikah dua tahun silam. Aku dulu baru tahu ketika suatu malam, saat baru beberapa minggu menikah, aku ajak istriku berjalan malam-malam ke warung bakso dekat rumah baru kamu. Karena dekat, makanya aku ajak jalan kaki saja sekalian cari hawa segar. Kebetulan malam itu habis hujan, dan jalan-jalan agak sedikit basah.
Aku tidak tahu bahwa istriku punya fobia kodok. Sampai akhirnya ada kodok yang hampir terinjak olehku malam itu. Karena aku kaget, kodok itu ikut kaget dan melompat ke arah kaki istriku. Sontak istriku berteriak-teriak seperti kesurupan. Bayangkan, aku sampai memanggil pak Ustaz terdekat karena aku mengira istriku benar-benar kesurupan demit pinggir jalan.
Menjelang pagi istriku baru reda tangisnya. Kemudian ia cerita kalau punya fobia dengan kodok sedari kecil. Aku sampai geleng-geleng kepala ada orang yang begitu takutnya dengan kodok. Kalau takut sama pocong atau kuntilanak itu wajar dan umum, lha ini kodok. Hewan melompat-lompat yang menurutku cukup imut itu.
Setelah itu beberapa kejadian berulang kembali. Tapi memang yang pertama kali itu lah yang paling parah dan mungkin sama kejadian ini.
Istriku tidak hanya takut kodok, tapi apapun yang mirip atau berhubungan dengan kodok ia juga takut. Misalnya gambar, boneka, atau suara kodok itu sendiri.
Terkadang masalah sepele memang membuat pusing. Aku sudah ajak istriku terapi ke sana ke sini untuk menghilangkan fobianya itu. Namun, cara apapun tampaknya tak benar-benar mempan.
Aku hanya tak mau kejadian-kejadian menjengkelkan seperti tadi terulang kembali. Pernah bahkan istriku minta cerai karena dikira aku yang sengaja menaruh mainan kodok di kursi ruang tv, padahal itu punya anak tetangga yang sedang main ke rumah dan ketinggalan.
Sekarang bisa kalian bayangkan betapa hal ini suatu saat bisa jadi bom waktu yang benar-benar fatal?
Aku menggaruk kepala yang sedikit gatal. Sembari menyeruput teh aku berpikir dalam-dalam, mencoba mencari ide brilian yang bisa mengurangi syukur-syukur bisa menyembuhkan fobia istriku itu.
Tatapanku menuju kepada layar televisi yang sedari tadi menyala tanpa aku tonton. Aku stel sebatas untuk mengurangi sepi. Channelnya pun tidak aku ganti yang biasanya istriku tonton.
Karena istriku lagi ngambek di kamar, makanya dia kali ini absen nonton sinetron kesayangannya.
Mataku acuh saja melihat tayangan yang menurutku konyol itu. Bagaimana mungkin sinetron begitu saja bisa sangat digilai banyak orang, terutama wanita, spesifiknya ibu rumah tangga, termasuk istriku. Yah, istriku sangat tergila-gila dengan sinetron Ikatan Tinta itu. Terutama tokoh prianya, Al Deg Degan.
Tiba-tiba ada sebuah lampu menyala lagi di atas kepala. Senyumku perlahan merekah. Hati kemudian membuncah. Ada sebuah ide terbesit dalam benakku untuk menyembuhkan fobia istriku. Meski aku tak yakin cara ini berhasil, tapi akan aku coba demi menyelamatkan rumah tangga kami. Apapun akan aku lakukan demi istriku meski bawelnya setengah mati itu.
***
Aku pilih hari ulang tahun istriku untuk melakukan rencanaku, karena menurutku itu adalah momen yang tepat. Kebetulan sebentar lagi istriku akan ulang tahun, aku akan memberikan kejutan kepadanya, dan aku harap rencanaku berhasil dengan lancar.
Sampai akhirnya tiba juga lah hari ulang tahun istriku. Di hari itu, aku memberikan kado spesial buatnya. Yang semoga ini bisa menjadikannya senang sekaligus sembuh dari fobianya.
"Ayo, Mah, dibuka, kadonya," kataku dengan nada bahagia.
Istriku tak kalah bahagia. Ia kemudian bergegas membuka sebuah kotak kardus berukuran besar perlahan-lahan, tentu setelah mengecup pipiku dan mengucapkan terimakasih.
"Aku buka, yah, Pah," katanya dengan senyum riang.
Aku mengangguk.
"Astaga, Pah!" istriku berseru sembari menutup kedua mulutnya begitu kado itu dibuka.
Aku masih mengamati ekspresinya, bahwa itu ekspresi takut atau bahagia.
"Taraaa!!!" kata seseorang berbusana kodok dengan wajah terbuka menyapa istriku.
Wajah yang selama ini dikagumi dalam sinetron mengharu biru itu. Wajah artis terkenal, Al Deg Degan. Yah, dengan susah payah aku akhirnya berhasil membujuknya dan mengajak ia ke rumahku untuk menemui istriku. Ini adalah bentuk kasih sayangku kepadanya, memberikan surprise dengan menghadirkan artis idola sekaligus upayaku untuk menyembuhkan fobianya.
Dan ajaib. Benar-benar ajaib. Istriku tidak sedikitpun takut atau risih dengan busana yang dipakai artis sewaanku, ia malah lebih terlihat terpesona alih-alih kumat fobianya.
"Ini beneran dia, Mas?" tanya Mila kepadaku seperti berusaha memastikan sekali lagi bahwa yang ada di hadapannya adalah benar artis idolanya.
"Siapa lagi," ujarku sembari mengangkat kedua tangan secara bersamaan, pertanda mengiyakan.
Akhirnya hari itu menjadi hari bahagia istriku. Tak apa-apa lah dia peluk-peluk orang lain. Artis ini. Yang penting istriku bisa sembuh fobianya.
***
"Papah!!!"
Suara cempreng istriku menggema dari garasi luar. Aku yang baru saja memakai sepatu sampai kaget dibuatnya. Mau tak mau aku segera bergegas berlari ke luar hanya dengan memakai kaus kaki saja, itu pun cuma sebelah, yang kupikirkan adalah bahwa ada kodok lagi yang ia lihat.
Namun, bukankah setelah surprise ulang tahun kemarin, istriku tak begitu takut lagi dengan kodok?
"Mobil kemana?! Kenapa berubah jadi motor butut kek gitu?!" tukas istriku sambil menunjuk sebuah motor butut di garasi rumah.
Aku baru ingat. Dan memang hal ini tidak aku ceritakan kepada Mila.
"Buat ongkos hadiah kemarin, Mah. Kamu kira ngundang artis terkenal nggak butuh duit dan mamah kira papah punya duit banyak. Satu-satunya cara ya jual mobil itu, Mah."
Mata istriku melotot. Kali ini ia terlihat seperti ganong.
"Tapi kan itu mobil yang kasih orang tuaku, Pah!"
Modiar.
Aku baru ingat mobil yang kami pakai selama ini adalah mobil pemberian mertuaku sebagai hadiah pernikahan kami.
Aku bergegas berlari sekuat tenaga ketika sapu teras bergagang kayu yang mantap itu diraih lalu berusaha digebukkan kepadaku.
"Ampun, Mah, papah khilaf, ampunnn."
Aku terus berlari-lari sekitaran rumah. Sedangkan istriku sudah menjelma menjadi reog yang siap menerkam mangsanya.
***
Tamat.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Pahlawan
Rabu, 19 Juli 2023 14:49 WIBNggak Bahaya, Ta?
Rabu, 19 Juli 2023 14:49 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler